Dikutip dari Kompas.com
Penulis: Yulvianus Harjono | Editor: I Made Asdhiana
Rabu, 16 Februari 2011 | 18:42 WIB
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS.com – Warga Pulau Sebesi, Kabupaten Lampung Selatan, yang lokasinya berdekatan dengan Gunung Anak Krakatau menginginkan adanya kegiatan mitigasi yang terencana. Warga di sini nyaris tidak tersentuh kegiatan mitigasi.
Ahyar Abu, salah seorang tokoh warga Pulau Sebesi, Rabu (16/2/2011) mengatakan, sosialisasi soal mitigasi bencana selama ini belum pernah dilakukan di Pulau Sebesi. Bahkan, di pulau yang berpenduduk sekitar 2.800 jiwa belum terdapat jalur evakuasi tsunami.
“Padahal, seperti pengalaman sejarah, tsunami merupakan ancaman bencana terbesar yang potensi ditimbulkan letusan GAK. Pemerintah belum pernah melakukannya (mitigasi di Sebesi). Jalur dan lahan evakuasi pun juga belum ada hingga kini. Padahal, seandainya GAK meletus, kami yang terdekat yang kemungkinan kena (bencana),” ujar dia.
Pulau Sebesi hanya berjarak 16 kilometer dari kompleks Gunung Krakatau, termasuk GAK. Masyarakat di Pulau Sebesi kerap merasakan dampak letusan gunung muda yang muncul di tahun 1927 ini. Getaran gempa vulkanik maupun abu letusan sering mencapai pulau ini.
Di kalangan masyarakat Sebesi pun berembus isu bahwa GAK kemungkinan meletus besar pada 2020 atau 2040. “Inilah yang kerok (repot). Cepat atau lambat, GAK pasti meletus dan letusannya pasti dahsyat, seperti pengalaman yang ada selama ini. Kalau warga tidak disiapkan sekarang, repot ke depan,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung, Hendrawan, sependapat, kegiatan mitigasi bencana semestinya difokuskan ke manusia. Bukan ke sumber bencananya. Warga Pulau Sebesi harus menjadi prioritas di dalam kegiatan mitigasi bencana GAK.
“Mitigasi pada prinsipnya adalah upaya penyelamatan manusia. Jadi, perlu ada keterlibatan masyarakatnya, yang berpotensi menjadi korban. Bukan sumber, gunungnya, yang diotak-atik,” ujar Hendrawan mengkritisi usulan Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan yang akan melakukan mitigasi in-situ di GAK.
Menurut dia, daripada ngotot melobi pemerintah pusat agar mengizinkan kegiatan mitigasi in-situ yang berpotensi membuka eksploitasi terhadap GAK, lebih baik pemda fokus melakukan sosialisasi mitigasi terhadap masyarakat, salah satunya di Pulau Sebesi.
Sebelumnya, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menolak permohonan mitigasi in-situ yang diajukan Bupati Lamsel yang baru itu. Mitigasi di GAK lebih baik dilakukan secara ex-situ, yaitu sosialisasi ke masyarakat sekitar.
Sekretaris Daerah Kabupaten Lampung Selatan, Sutono bersikeras, mitigasi in-situ dilakukan untuk mengurangi kadar dahsyatnya bencana letusan GAK di kemudian hari. Ia berharap, Kementrian Kehutanan bersedia mengundang pihaknya bertemu untuk menjelaskan soal detail rencana mitigasi ini.
Warga Pulau Sebesi, Kabupaten Lampung Selatan, yang lokasinya berdekatan dengan Gunung Anak Krakatau menginginkan adanya kegiatan mitigasi yang terencana. Warga di sini nyaris tidak tersentuh kegiatan mitigasi.
Sumber :
http://regional.kompas.com/read/2011/02/16/18420014/Warga.Pulau.Sebesi.Inginkan.Mitigasi.
Ahyar Abu, salah seorang tokoh warga Pulau Sebesi, Rabu (16/2/2011) mengatakan, sosialisasi soal mitigasi bencana selama ini belum pernah dilakukan di Pulau Sebesi. Bahkan, di pulau yang berpenduduk sekitar 2.800 jiwa belum terdapat jalur evakuasi tsunami.
“Padahal, seperti pengalaman sejarah, tsunami merupakan ancaman bencana terbesar yang potensi ditimbulkan letusan GAK. Pemerintah belum pernah melakukannya (mitigasi di Sebesi). Jalur dan lahan evakuasi pun juga belum ada hingga kini. Padahal, seandainya GAK meletus, kami yang terdekat yang kemungkinan kena (bencana),” ujar dia.
Pulau Sebesi hanya berjarak 16 kilometer dari kompleks Gunung Krakatau, termasuk GAK. Masyarakat di Pulau Sebesi kerap merasakan dampak letusan gunung muda yang muncul di tahun 1927 ini. Getaran gempa vulkanik maupun abu letusan sering mencapai pulau ini.
Di kalangan masyarakat Sebesi pun berembus isu bahwa GAK kemungkinan meletus besar pada 2020 atau 2040. “Inilah yang kerok (repot). Cepat atau lambat, GAK pasti meletus dan letusannya pasti dahsyat, seperti pengalaman yang ada selama ini. Kalau warga tidak disiapkan sekarang, repot ke depan,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung, Hendrawan, sependapat, kegiatan mitigasi bencana semestinya difokuskan ke manusia. Bukan ke sumber bencananya. Warga Pulau Sebesi harus menjadi prioritas di dalam kegiatan mitigasi bencana GAK.
“Mitigasi pada prinsipnya adalah upaya penyelamatan manusia. Jadi, perlu ada keterlibatan masyarakatnya, yang berpotensi menjadi korban. Bukan sumber, gunungnya, yang diotak-atik,” ujar Hendrawan mengkritisi usulan Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan yang akan melakukan mitigasi in-situ di GAK.
Menurut dia, daripada ngotot melobi pemerintah pusat agar mengizinkan kegiatan mitigasi in-situ yang berpotensi membuka eksploitasi terhadap GAK, lebih baik pemda fokus melakukan sosialisasi mitigasi terhadap masyarakat, salah satunya di Pulau Sebesi.
Sebelumnya, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menolak permohonan mitigasi in-situ yang diajukan Bupati Lamsel yang baru itu. Mitigasi di GAK lebih baik dilakukan secara ex-situ, yaitu sosialisasi ke masyarakat sekitar.
Sekretaris Daerah Kabupaten Lampung Selatan, Sutono bersikeras, mitigasi in-situ dilakukan untuk mengurangi kadar dahsyatnya bencana letusan GAK di kemudian hari. Ia berharap, Kementrian Kehutanan bersedia mengundang pihaknya bertemu untuk menjelaskan soal detail rencana mitigasi ini.
Warga Pulau Sebesi Inginkan Mitigasi